“Seorang dari perempuan-perempuan itu yang bernama Lidia turut
mendengarkan. Ia seorang penjual kain ungu dari kota Tiatira, yang beribadah
kepada Allah." (Kis. 16:14)
Sebagian orang Kristen memahami dan berkonsentrasi tentang makna ibadah hanya
sebatas kebaktian pada hari Minggu. Mereka merasa sudah memenuhi kewajiban
rohani, apabila ibadah setiap Minggu dijalani dengan rajin dan teratur. Memang
secara formalitas, kita dituntut menjalani ibadah setiap Minggu, sebagai wujud
iman kita kepada Tuhan sekaligus untuk membedakan identitas kekristenan kita
dengan yang lain. Seperti yang dikatakan dalam Ibr. 10:25, “Janganlah kita
menjauhkan diri dari pertemuan-pertemuan ibadah kita, seperti dibiasakan oleh
orang-orang, tetapi marilah kita saling menasihati, dan semakin giat
melakukannya menjelang hari Tuhan yang mendekat.” Namun kita juga perlu
memahami makna ibadah kita kepada Tuhan sesungguhnya mencakup semua aspek
kehidupan kita. Karena itu, jangan ada pemahaman yang keliru seperti sebagian orang yang merasa ibadah yang mingguan sudah cukup, tetapi kenyataannya, ia belum menjalani ibadah yang sebenarnya, karena tidak melibatkan seluruh aspek kehidupan yang sesungguhnya.
Bila kita mempelajari makna ibadah, selain kita artikan sebagai mengabdi atau berbakti kepada Allah yang dilakukan dalam bentuk seremoni di kebaktian juga berhubungan dengan seluruh kehidupan sehari-hari. Hal ini dilakukan oleh Paulus sebagai contoh orang yang beribadah bukan hanya formalitas saja, tetapi juga melalui pekerjaan atau kariernya (Kis. 18:3). Profesinya sebagai tukang kemah bukan sebagai tujuan akhirnya, tetapi profesinya dipakai sebagai alat melayani, bersaksi mengabarkan Injil Kristus itulah tujuannya. Pekerjaan atau profesinya sebagai tukang kemah hanya sebagai sarana untuk memuliakan Tuhan.
Demikian juga Lidia penjual kain ungu. Setelah ia percaya dan bertobat, filosofi hidupnya berubah dan mengikuti jejak Paulus. Dulu ia bekerja mati-matian dan berusaha meraup hasil sebanyak-banyaknya untuk kepentingan diri. Ia tidak peduli Injil dan tidak memahami arti melayani bahkan tujuan hidupnya semata-mata tertuju pada pekerjaan dan dunia materi. Sejak ia menjadi orang Kristen, ia menjadikan kariernya sebagai alat bagi Tuhan. Ia rela mempersembahkan waktu, tenaga dan pekerjaannya kepada Tuhan sebagai wujud ibadahnya kepada Tuhan.
Hendaknya, kita memiliki filosofi hidup yang sama seperti Paulus maupun Lidia, mempersembahkan karier atau profesinya untuk dipakai Tuhan sebagai alat untuk bersaksi atau penginjilan. Kiranya kita tidak memisahkan ibadah dari kehidupan kita, apa saja yang kita kerjakan, usaha sekecil apa pun, atau profesi sebesar apa pun berkaitan dengan kehidupan ibadah kita. Supaya orang lain melihat kita bukan saja saleh dalam kebaktian, mereka juga merasakan kesalehan ibadah kita melalui profesi kita.
Tuhan Yesus Memberkati
0 comments:
Post a Comment